Abushidqi Lumayan Aktif
Jumlah posting : 23 Lokasi : Bandung Registration date : 31.01.08
| Subyek: Apakah kemewahan tujuan utama kita? Tue Feb 19, 2008 1:26 pm | |
| Assalamualaikum warahmatuLlahi... Tidak kita pungkiri sebagian dari kita menggunakan lebih banyak waktu dalam mencari maisyah (penghasilan) daripada digunakan untuk hal lain. Kurang lebih 8 jam sehari atau 40 jam sepekan (aturan pemerintah) kita menggunakan waktu kita untuk bekerja. Kemudian pertanyaannya adalah apakah tujuan kita dengan mengalokasikan waktu begitu banyaknya? Apakah kesejahteraan keluarga atau bahkan kemewahan yang kita kejar? Atau bahkan itu tujuan utama hidup kita?
Pernah suatu saat ana bertemu dengan beberapa ikhwah yang faqih. Mereka hampir mempunyai jawaban yang sama saat ana bertanya tentang pekerjaan mereka, "dakwah pekerjaan ana" itulah jawaban sebagian besar dari mereka yang kemudian diteruskan "guru sambilannya", "PNS sambilannya", "pedagang sambilannya", dan semacamnya.
Wahai saudaraku, insya'ALlah bukanlah kemewahan tujuan hidup kita, kita sering berdoa kepada ALlah SWT agar meletakkan harta ditangan kita bukan dihati kita. RasuluLlah saw dan para sahabatnya telah dengan indah memberikan contoh kepada kita bagaimana sikap dalam memandang dunia, di hari-hari biasa mereka disibukkan dengan perniagaan mereka, perkebunan mereka, ternak-ternak mereka, tapi saat panggilan jihad menyerukan mereka untuk bergerak, tak seorangpun dari mereka (kecuali beberapa yang tidak bisa berangkat) yang bermalas-malasan dalam menanggapi seruan itu. Mereka bergerak dengan seluruh harta dan jiwa mereka dalam menyambut seruan itu. SubhanaLlah, itulah mereka yang merupakan umat terbaik sepanjang masa, mereka meyakini dengan pasti akan janji-janji ALlah SWT kepada mereka (At-Taubah :111).
Semoga tulisan ustadz Farid Nu'man (penulis Ikhwanul Muslimin : Anugerah yang Terdozlimi) bisa menjadi pengingat kita akan tujuan utama kita, selamat membaca :
Ya Syaikh .. Kemewahan Bukan Cita-Cita Kami! (Renungan di tengah perjalanan dakwah)
Oleh: Farid Nu’man
Mukadimah
Dalam sebuah perjalanan kami bersama beberapa Ikhwah, ada perbincangan menarik. Salah seorang Al Akh bertanya, ”Akhi, berapa penghasilan Antum sebulan dari mengajar?” Ikhwah tersebut tersenyum dan malu menjawabnya. Namun, ketika ditanya lagi dengan nada bergurau, ia pun menjawab, “150 ribu sebulan.” Inilah ikhwah kita, kader da’wah yang memiliki banyak kelompok halaqah.
Ada lagi, Ikhwah yang pernah kami temui, ia aktifis dan banyak amanah da’wah yang dia emban. Ia hanya berpenghasilan tidak sampai 300 ribu rupiah dari membuat minuman penghangat badan, wedang jahe.
Itulah ikhwah kita, mereka hidup dipelosok. Namun, kami kira mereka juga ada di sekitar kita, saudara kita di halaqah, di wilayah da’wah kita, bahkan ia –mungkin- kita sendiri. Tetapi mereka tidak mengeluh, tidak lemah, dan Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang sabar.
Syahdan, di kota besar ada pula ikhwah da’iyah yang hidupnya lebih dari cukup, bahkan sangat-sangat lebih. Itu baik dan tidak masalah. Namun, jadi masalah jika ia mengiklankan kemewahan, menyeru orang kepadanya, memberikan ilustrasi keunggulan ‘mewah’, bukan sekedar bercerita kekayaan. Ia menghiasi dengan berbagai dalil dan alasan yang dipaksakan untuk melegitimasi pemikiran dan perilakunya sendiri. Membicarakan pentingnya kekayaan, harta, kemewahan, dengan alasan maslahat da’wah dan sebagainya, karena ia sudah merasakannya. Lalu, kemana dahulu ketika keadaannya belum seperti sekarang? Kenapa maslahat-maslahat itu baru dibicarakan saat ini ? Apakah dibicarakan untuk pledoi? Apa ia tidak pernah tahu kondisi ikhwah lain yang serba sulit? Atau memang tidak mau tahu?
Tak usah ajarkan kami, kami sudah mengetahui harta memang urgen. Kaya memang penting. Mayoritas para sahabat yang mubasyiruna bil jannah (dikabarkan akan masuk surga) adalah orang-orang kaya. Orang kaya yang bersyukur lebih utama dari orang miskin bersabar. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun berdoa berlindung dari kekafiran dan kefaqiran. Dan, kami pun tetap bekerja untuk menafkahi anak dan istri kami ... Alangkah baiknya jika kami tetap diajarkan –oleh da’i itu- bagaimana menjadi hamba yang shalih, hamba yang bersyukur terhadap kekayaan, bersabar atas kesulitan, berjihad, istiqamah, dan ilmu-ilmu bermanfaat lainnya untuk agama dan dunia kami, agar kami menjadi pribadi yang apa adanya menurut Al Quran dan As Sunnah, bukan pribadi yang seharusnya menurut keadaan dan status sosial. Dan, tidak usah menyesali jika dahulu kami ‘lupa’ diajarkan tentang masalah kekayaan dalam silabus tarbiyah kami, karena hakikat kekayaan adalah kaya jiwa. Inilah keyakinan dari keimanan kepada Allah Ta’ala, dan pemahaman terhadap harta secara sehat, dan jangan memaksakan pemahaman yang asing dalam sejarah da’wah dan tarbiyah.
Tetapi Ya Syaikh ..., kaya bukanlah mewah, walau ia bersumber dari satu hal yang sama yakni harta, tetapi ia berbeda secara nilai yakni mentalitas. Mentalitas aji mumpung; mumpung ada, mumpung menjabat, mumpung dekat dengan orang kaya, mumpung di atas, mumpung punya binaan kalangan menengah ke atas. Tak ada kamus aji mumpung dalam kehidupan teladan kami, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia memegang kunci-kunci kekayaan, jika ia mau mudah sekali mendapatkannya. Tetapi, ia amat sederhana. Para sahabat, memang kaya, tapi adakah kita mendengar mereka mengiklankan kemewahan, dan berleha-leha ketika ada saudaranya kesulitan? Justru mereka menampakkan kesederhanaan dan kesahajaan. Mereka tahu perasaan sahabat nabi lainnya. Ya .. mereka tahu perasaan manusia ..
Khadijah seorang wanita kaya, ia saudagar wanita, ketika nikah dengan Rasulullah ia menjadi sederhana. Kekayaannya ia habiskan untuk perjuangan suaminya, bukan dihabiskan untuk menikmati kenikmatan hidup. Jangan sekedar melihat besarnya mahar ketika mereka berdua nikah, tetapi lihatlah buat apa dan dikemanakan mahar tersebut, apakah mahar tersebut merubah Rasulullah menjadi laki-laki yang mewah? Tidak! Terlalu naif membicarakan kemewahan hanya melihat dari ukuran mahar pernikahan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Khadijah Radhiallahu ‘Anha. Umar bin Abdul Aziz ia seorang kaya, ketika menjadi khalifah justru ia tinggalkan kekayaannya. Tetapi, kewibawaan mereka sama sekali tidak berkurang, justru melambung tinggi, karena Allah Ta’ala telah muliakan mereka. Kemana contoh-contoh ini ?
Untuk contoh masa sekarang adalah Usamah bin Ladin –setuju atau tidak dengan ideologi dan segala upaya jihadnya- ia adalah seorang kaya raya, bahkan sangat kaya, kalau dia mau bisa saja CNN dibelinya. Tapi, dia hidup amat sederhana, makan seadanya, dia serahkan kekayaannya untuk membiayai perjuangannya. Bukan mencari kekayaan dari perjuangan, bukan mencari biaya hidup dari perjuangan. Itulah letak kewibawaan.
Rasulullah dan para sahabat adalah teladan kita, qudwah hasanah kita ... selamanya. Kami tidak butuh teladan yang lain, walau ia berilmu, senior da’wah, tetapi ... alhamdulillah, kami tidak pernah silau dengan istilah, gelar, dan pujian manusia yang sehaluan dengannya. Walau kami sangat menghargai dan menghormati peran dan kontribusi da’wah yang telah mereka lalui demikian panjang.
Kesederhanaan Adalah ‘Izzah
Ada sudut pandang simplistis yang biasa dilontarkan oleh manusia yang ber’ideologi’ kekayaan dan kemewahan. Sudut pandang kesetaraan status dan kepantasan lingkungan, agar penerimaan dirinya dilingkungan yang baru, bisa diterima dengan baik. Sudut pandang materialis kapitalis ini, satu-dua contoh kasus bisa saja benar, bahwa jika Anda bergaul dengan kalangan jet set tetapi ketika menghadap mereka dengan ‘hanya’ motor bebek atau mobil seken, lalu Anda kurang dianggap, kurang ‘berharga’ dimata mereka. Bisa saja itu terjadi, dan bisa pula itu perasaan dan sugesti saja. Jangan pernah memandang bahwa kesulitan hidup, adalah biang keladi segala masalah kita –para da’i dan umat Islam- saat ini. Tak ada manusia satu pun yang ingin susah dan miskin, tetapi jangan pula menganggap kekayaan adalah solusi jitu, yang akhirnya harus dikejar-kejar dan diserukan secara demonstratif, karena taqwa dan keshalihan itulah solusi, sedangkan kekayaan adalah penunjang atau bisa juga fitnah.
Kenapa contoh keserhanaan Abu Dzar, kewara’an Abu Bakar, kezuhudan Umar, kedermawanan Utsman, dan kesulitan hidup Ali, tidak menjadi sudut pandang kita. Apa yang mereka alami ini tidaklah meluluhkan wibawa mereka di depan Al Khaliq dan makhluk. Justru semakin melambung tinggi dan nama mereka tercatat abadi dalam konfigurasi sejarah manusia-manusia pilihan. Itu mereka dapatkan bukan karena kekayaan dan kemewahan, tetapi keikhlasan, kesederhanaan, dan pengorbanan mereka. Benarlah yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya, kalian tidak akan mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi kalian bisa menguasai mereka dengan wajah yang bersahaja dan akhlak yang baik.” (HR. Abu Ya’la, dishahihkan Al Hakim, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Kitab Al jami’, Bab Targhib fi Makarimil Akhlaq, hal. 287. Hadits no. 1341. Cet 1, 2004m/1425H. Darul Kutub Al Islamiyah)
Kesederhanaan para da’i di lingkungan yang ‘tidak sederhana’ adalah hal yang istimewa, ia nampak tidak tergoda dunia, walau dunia mengejarnya. Ia nampak mampu mengendalikan dunia, dunia ada ditangannya bukan dihatinya. Jika ia anggota dewan, pejabat, petinggi Partai Da’wah, dahulunya ia da’i yang sederhana, dan ia tetap sederhana di lingkungan yang ‘tidak sederhana’, maka ia seperti cahaya di tengah kegelapan, ia seperti keteladanan di zaman yang minim keteladanan. Insya Allah, Allah akan mencintainya, dan manusia pun mengaguminya. Inilah sudut pandang yang seharusnya ... Syaikh! Bukan justru latah, ikut-ikutan, dan menjadi norak, sehingga menjadi tak ada bedanya dengan hamba dunia yang dahulu pernah kita benci, paling tidak beti (beda-beda tipis) dengan mereka.
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiallahu ‘Anhu dia berkata: “Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata: “Wahai Rasulullah tunjukkanlah kepadaku jika aku lakukan maka Allah dan manusia akan mencintaiku.” Maka Ia bersabda: “Zuhudlah di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa-apa yang ada pada manusia, niscaya manusia akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah, sanadnya hasan. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Kitab al Jami’ Bab Zuhd wal Wara’, hal. 277. Hadits no. 1285. Cet 1, 2004M/1425H. Darul Kutub Al Islamiyah)
Akan Dibangkitkan Sesuai Niatnya
Da’wah ini telah diramaikan oleh beragam manusia; tipe, kecenderungan, skill, kebiasaan, sifat, dan niatnya. Faktor niat inilah yang akan mengendalikan dan mengarahkan masing-masing da’i, bahkan yang menentukan masa depan mereka di akhirat. Mereka sama-sama berjuang, sama-sama lelah, tapi mereka akan dibangkitkan di akhirat sesuai niatnya masing-masing. Ada yang niat dunia seperti ketenaran, popularitas, kekayaan, jabatan, wanita, walau ini mampu disembunyikan dengan sangat rapi di dunia, berbungkus da’wah dan berhasil mengelabui banyak manusia, tetapi akan tersingkap di akhirat. Semog Allah Ta’ala merahmati dan memberikan balasan yang lebih baik bagi da’i-da’i akhirat, yang hanya mengharapkan Allah Ta’ala dan ketinggian agamaNya.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Akan ada tentara yang menyerang Ka’bah, akan tetapi ketika mereka sampai di sebuah lapangan, tiba-tiba mereka semua dibinasakan, dari awal sampai akhirnya.” ‘Aisyah bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimanakah dibinasakan semua, padahal di antara mereka ada orang-orang yang tidak ikut-ikutan seperti mereka, yaitu orang-orang yang di pasar dan lain-lain?” Rasulullah menjawab:
“Mereka dibinasakan semua, lalu dibangkitkan menurut niat masing-masing.” (HR. Bukhari- Muslim, lafaz ini menurut Bukhari. Riyadhus Shalihin, Bab Al ikhlas wa Ihdhar an Niyah, hadits no. 2. Maktabatul Iman, Manshurah)
Jadi, amal akhirat manusia, seperti da’wah dan jihad menjadi hal yang sia-sia jika niatnya adalah dunia. Dalam riwayat lain, dari Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barang siapa yang beramal akhirat dengan tujuan dunia, maka dia tidak mendapatkan bagian di akhirat.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al hakim dan Al Baihaqi. Al Hakim berkata: sanadnya shahih, dan disepakati Adz Dzahabi. Al Haitsami mengatakan hadits ini diriwayatkan Ahmad dan anaknya dari beberapa jalur, dan para perawi Ahmad adalah perawi shahih, Majma’ uz Zawaid 10/220)
Kami Tidak Mengharamkan Perhiasan Yang halal dari Allah!
Jika ada yang menyangka, ini adalah sikap sok suci, sok tidak butuh kekayaan, apalagi disebut iri, maka ia amat keliru. Kami meyakini, setelah iman yang mendalam dan amal yang terus-menerus, maka da’wah membutuhkan kekuatan, di antara kekuatan yang urgen hari ini adalah dana. Tentunya, orang yang tidak memiliki harta tidak bisa memberikan kekayaan. Bertemunya keimanan dan kekayaan, akan membentuk pribadi yang dermawan.
Namun yang menjadi tema dan sorotan kami adalah gaya hidup para da’i yang mengalami sock budaya, OKB, Orang Kaya Baru, lalu dia demonstratif dalam hal itu. Dia lupa bahwa dirinya berada di lingkungan da’wah, dan para ikhwah yang kebanyakan ‘tidak seberuntung dia’. Para Ikhwah yang hidupnya kembang kempis.
Bergesernya orientasi da’wah ilallah menjadi da’wah ‘Road to Senayan’, ‘Road to Kekayaan’, inilah yang harus disorot dan diwaspadai. Sesungguhnya, peringatan itu bermanfaat buat orang-orang beriman. Namun bagi yang sulit menerima nasihat, hatinya kesat, maka kami katakan:
Berpestalah ...
bersenang-senanglah ...
dan lakukan semua kehendakmu ....
Anda bebas saudaraku...
Tetapi, pesta pasti berakhir itu pasti ....
Kami juga meyakini, bahwa secara nilai normatif, banyak yang lebih faham dari kami tentang ini, lebih faqih, lebih berpengalaman, lebih cerdas, lebih pandai, lebih tahu masalah, pokoknya segalanya di atas kami ....
Tetapi, yang kami (para kader da’wah) minta adalah jangan ajarkan kami kemewahan, sebab itu bukan cita-cita, obsesi, dan ambisi kami ... jangan contohkan kami perilaku yang dahulunya sama-sama kita benci, sebab itu kabura maqtan ... dan jangan paksa kami untuk mengikuti jejak perilaku dan pemikiran yang Anda iklankan ....
Semoga hidayah dan bimbingan Allah Ta’ala selalu menyertai kita semua .. Amin
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Isra’ : 18-19)
Wallahu A’lam wa lIllahil ‘Izzah
http://perisaidakwah.com/content/view/72/1/
Terakhir diubah oleh Abushidqi tanggal Thu Feb 21, 2008 4:37 pm, total 1 kali diubah | |
|