Banyak yang sukses bekerja sebagai TKI atau TKW. Namun, ada pula yang tak merasakan manisnya memeras keringat di negeri orang. Ini seperti dialami oleh Setu. Warga Ngawi ini malah menderita sepulang dari Malaysia. Bagaimana kondisinya?
KUNDARI P. SUSANTI-Ngawi
------------------------------------------------------
KEMISKINAN bukan menjadi satu-satunya masalah bagi keluarga Setu dan istrinya Suyatmi. Warga Dusun Porong, Desa Kalang, Kecamatan Pitu, Ngawi, ini harus menahan derita. Sejak satu tahun terakhir Setu lumpuh lantaran tertimpa kayu saat bekerja di perusahaan penebangan kayu di Johor, Malaysia, tahun 2006 silam.
Di rumah pasutri yang masih jadi satu dengan orangtuanya, Setu tergeletak di atas kasur lusuh. Kain usang menutup setengah badannya yang tidak berbaju. Lantai tanah rumah yang ditinggalinya tak mampu mengusir lalat yang mengerubuti kaki Setu. "Saya tertimpa kayu bagian pundak depan, tetapi punggung tak mampu menahan bebannya jadi lumpuh begini," kata Setu.
Setu mengaku bekerja di Malaysia atas bujukan calo dan tak memiliki visa kerja. Ia semula ditempatkan di perkebunan nanas. Namun taoke (majikan) yang mempekerjakannya jarang mengupah.
Bahkan hanya memberikan rangsum dua minggu sekali di perkebunan yang terletak di tengah hutan. "Padahal saat berangkat saya jual rumah dan sapi, habis sekitar delapan jutaan rupiah," kisah Setu.
Karena tak betah, Setu pun minta pindah. Namun, permintaan tersebut diabaikan. Bahkan, ia diancamkan akan dipulangkan ke Indonesia tanpa uang saku.
Dia akhirnya memutuskan mengikuti temannya yang bekerja di penebangan kayu. Baru beberapa bulan bekerja, Setu tertimpa musibah. "Tak sempat ada uang yang bisa dikirimkan pada istri. Saya malah jadi beban teman di sana," ujarnya sembari menahan isak.
Setelah sebulan, Setu dilaporkan ke kedutaan dan dipulangkan ke Indonesia. Proses ini butuh waktu sekitar dua minggu. Sampai di Jakarta, ia ditangani Departemen Sosial dan dioperasi di sebuah rumah sakit di kawasan Tanjung Priok. "Waktu itu sudah mulai ada luka-luka memborok. Ada dokter yang galak dan tak mau mengoperasi," katanya.
Usai operasi, Setu dipulangkan ke Ngawi. Beban keluarga ini pun bertambah. Dia praktis tak dapat bekerja. Apalagi tindakan medis itu memang tak dapat menyembuhkan kelumpuhan yang dideritanya. Praktis, dia hanya mampu menggerakkan kedua tangannya saja. Karena lama terbaring, luka borok ada pada punggung, kedua kaki dan beberapa bagian tubuh lainnya kian merembet. "Perih dan panas masih bisa saya rasakan," katanya.
Lamanya penderitaan membuat Setu pasrah. Dia bahkan menolak dirujuk kendati sudah dipastikan gratis. "Kalau ada bantuan biarlah untuk biaya makan anak dan istri saya," ujarnya.
Sang istri, Suyatmi hanya mampu menangis melihat kondisi suaminya. Setelah setahun dalam kelumpuhan, frustasi mulai menghinggapi keluarga ini. "Saya kini bekerja di rumah bidan, upahnya mingguan agar keluarga kami bisa makan," kata Suyatmi.
Petugas Puskesmas Pitu, Dinas Kesehatan Ngawi serta penggerak desa siaga, kemarin (20/6) kembali membujuk Setu agar mau dirujuk. Namun penolakan yang tetap mereka terima. "Kami akan terus berusaha supaya penderita bersedia dirawat lebih baik dan intensif," ujar Bulkis Hani dari Dinkes Ngawi yang juga memberikan bantuan dana pada keluarga ini.