Selang empat hari setelah Perayaan 100 tahun Kebangkitan Nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang naiknya harga BBM. Slogan Indonesia Bisa yang didengungkan secara serentak dalam perayaan seremonial nan agung di Gelora Bung Karno seolah-olah menguap begitu saja karena gelombang demonstrasi dari kalangan mahasiswa dan rakyat yang menentang pemerintah atas kebijakan tersebut. Sebuah ironikah? Semoga Indonesia benar-benar BISA, dan bukannya ABIS.
Lemahnya Asketisme Publik
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM memang merupakan sebuah kebijakan yang amat logis mengingat harga minyak dunia saat ini masih diatas harga yang ditentukan oleh pemerintah setelah dinaikkan. Justru gelombang demonstrasi yang diadakan oleh para mahasiswa dan para politisi yang mengatasnamakan pejuang rakyat tampak sebagai sebuah keputusan yang amat tergesa-gesa. Memang dampak kenaikan harga BBM ini akan mempengaruhi kenaikan harga-harga barang-barang lainnya, terutama harga bahan pokok. Namun menolak kenaikan harga BBM juga bukanlah sebuah solusi yang bijaksana bagi kelangsungan hidup masyarakat selanjutnya. Letak persoalan yang terjadi adalah pada sisi keadilan sosial yang masih amat lemah di negeri ini. Hal inilah seharusnya yang diperjuangkan oleh para mahasiswa dan para politisi yang mengatasnamakan dirinya pejuang bagi rakyat.
Kenaikan harga BBM dirasakan seperti kehilangan sebuah selendang bagi seorang anak kecil dari sang ibu, sebagaimana diungkapkan oleh Saya Sasaki Shiraisi dalam bukunya Pahlawan-pahlawan Belia (Gramedia: 2001). Kehilangan selendang yang selalu memberi kehangatan dan kenyamanan selalu terasa menyesakkan. Namun begitulah gaya politik Orde Baru. Selama selendang itu diberikan dalam bentuk kemudahan-kemudahan ekonomis yang bersumber dari utang luar negeri, rakyat menganggap pemerintah sebagai seorang bapak yang baik, yang melindungi dan memperhatikan rakyatnya. Dengan begitu, rakyat merasa nyaman dengan hidupnya tanpa mengetahui bahwa dibalik itu terdapat pengebirian masa depan yang membuat kemandirian dan asketisme publik menjadi mandul. Selain itu, utang luar negeri yang telah menumpuk dibebankan pada generasi yang akan datang tanpa mengindahkan suatu tanggungjawab terhadap masa depan. Dan ketika tiba waktunya untuk mempertanggungjawabkan situasi kenyamanan hasil dari utang tersebut terkuak, rakyat yang seperti anak kecil ini menangis keras dan menuntut kembali selendang yang selama ini selalu melindungi dan menghangatkannya. Kepercayaan terhadap sang bapak pun luntur hingga lahirlah pemberontakan-pemberontakan kecil yang mulai menggerogoti sendi-sendi kebangsaan. Pemerintah dan rakyat seakan berada dalam posisi rival yang tak lagi menampakkan sebuah demokrasi yang adil. Peran pemerintah sebagai pelayan publik pun hilang, tergantikan oleh image penguasa yang tak lagi peduli dengan nasib rakyatnya. Hal ini didukung dengan lemahnya pemerintah dalam mengusahakan pemerataan kesejahteraan sosial. Asketisme yang terjadi hanya dalam tataran rakyat kecil. Dalam hal ini, rakyat kecillah yang selalu mengusung sikap-sikap asketis sebab memang secara struktural mereka berada pada sisi korban.
Ironi lemahnya pemerataan kesejahteraan dan asketisme publik ini tampak dalam realitas bahwa bangsa Indonesia ini menjadi area ekspansi penjajahan politik ekonomi dari negara-negara maju dengan multinational corporation-nya. Politik ekonomi dari negara-negara maju seperti Jepang, Korea, Amerika dan negara-negara Eropa itu menjadikan rakyat Indonesia sebagai rakyat konsumeris yang hanya mampu mengkonsumsi. Sungguh ironis ketika melihat kenaikan harga BBM diimbangi dengan banjirnya iklan sepeda motor dan mobil keluaran Jepang, Amerika, India, Cina dan negara-negara maju lainnya. Sungguh ironi ketika memperjuangkan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia diimbangi dengan munculnya katedral-katedral perbelanjaan yang pesat lagi megah di penjuru-penjuru kota di Indonesia, bahkan termasuk di kota kecil. Sungguh ironi ketika ajakan untuk menjadi bangsa yang mandiri diimbangi dengan munculnya perusahaan-perusahaan asing yang mengeksploitasi kekayaan alam seperti tambang emas di Papua dan perusahaan air minum di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa kebijakan ini tampak sebagai sebuah gejala pembangunan yang berat sebelah, tidak memperhatikan rakyat kebanyakan yang secara struktural tergolong miskin dan belum mandiri. Maka tidak heran ketika muncul pemberontakan-pemberontakan kecil seperti pembajakan, tingginya tingkat kriminalitas, munculnya kelompok-kelompok oposisi pemerintah, dan separatisme. Dari pemberontakan-pemberontakan itu, tampaklah bahwa pembangunan segi spiritual, moral dan mental dari bangsa ini masih teramat lemah. Kiranya krisis ekologis yang terjadi pun menjadi dampak dari lemahnya pembangunan dalam sisi ini. Lemahnya asketisme publik (bangsa) menjadi salah satu indikasinya.
Persatuan yang dipaksakan
Lahirnya nasionalisme Indonesia yang kemudian diperingati sebagai lahirnya kebangkitan Nasional oleh organisasi Budi Oetomo pada tahun 1908 pun berawal dari sebuah ide tentang kebangkitan nasionalisme Jawa. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam Budi Oetomo pun awalnya merupakan sebuah kelompok intelektual Jawa berpendidikan Belanda yang menyerukan diadakannya kembali kebudayaan Jawa pada akhir tahun 1910-an (Saya Shiraisi: 124). Dengan demikian, apakah dapat disebut sebagai sebuah kebangkitan Nasional jika tujuan awal dan nafas perjuangan itu hanya dimiliki oleh golongan intelektual dengan ciri khas perjuangan nasionalisme Jawa? Lalu apakah yang disebut sebagai Nasionalisme Indonesia?
Beruntunglah bangsa Indonesia memiliki Soekarno-Hatta yang dengan kepemimpinan kharismatis serta kelihaian retorikanya mampu menciptakan Pancasila sebagai ideologi nasionalisme yang mengedepankan persatuan dari sebuah negeri multikultur ini. Embrio nasionalisme yang mulai muncul era Budi Oetomo dan menampakkan diri dalam Sumpah Pemuda ini lahir dengan wujud Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika-nya sebagai kalimat sakti yang takkan pernah bisa digulingkan, bahkan oleh kudeta tahun 1965. Dalam hal ini, rakyat yang beranekaragam itu dimasukkan ke dalam suatu kandang besar persatuan yang mewajibkan mereka semua menyerahkan diri untuk menerima ideologi sebagai sebuah bangsa. Akhirnya rakyatlah yang menjadi korban, dan selalu menjadi korban sebagaimana pembantaian massal yang terjadi pada tahun 1965. Pemerintahan yang terjadi bukanlah pemerintahan dari rakyat untuk rakyat tetapi pemerintahan dari golongan intelektual yang mengebiri dan mengorbankan rakyat dengan selendang persatuan dan kesatuan. Hal yang sama terjadi pada era Orde Baru dan Orde reformasi dimana pemerintah adalah kaum militer dan perkawinan antara intelektual bernuansa agamis-pengusaha. Sekali lagi, rakyat diandaikan menerima segala macam jargon dan birokrasi elitis yang dibentuk oleh kelompok-kelompok tersebut. Selendang demi selendang diberikan bagi rakyat agar melihat dan terus menganggap pemerintah sebagai seorang bapak yang baik, yang selalu memperhatikan kebutuhan rakyatnya, tanpa sungguh-sungguh ‘membangun’ rakyat.
Sebuah era Baru
Sebuah era baru muncul ketika rakyat mulai menyadari dirinya sebagai bagian dari korban pengebirian lewat selendang-selendang ini. Ketika sedikit demi sedikit selendang mulai dilepaskan oleh era pemerintahan pasca Orde Baru, rakyat mulai menyadari selama ini proses demokrasi Indonesia sebenarnya belum sepenuhnya menemukan realitas idealnya. Hilangnya sosok seorang bapak pemerintahan yang baik sekaligus keras di masa Orde Baru telah membuat rakyat mulai berpikir dari dirinya sendiri, seperti halnya seorang anak yang mulai beranjak dewasa. Meski demikian, bom waktu rapuhnya pembangunan sisi spiritual, mental dan moral yang ditinggalkan oleh era Orde Lama dan Orde Baru mulai meledak saat ini. Demokrasi yang telah dibangun diatas dasar kharisma ideologi Pancasila era Orde Lama dan kharisma bapak yang baik lagi keras era Orde Baru seolah luruh. Bangsa Indonesia seolah harus belajar dari awal lagi tentang demokrasi, mengingat sisa-sisa dominasi Orde Lama dan Orde Baru masih berusaha memegang kendali kekuasaan. Pergerakan mahasiswa yang terjadi pun tidak lebih sekedar sebuah pergerakan yang tidak didasari oleh kuatnya pembangunan spiritual, mental dan moral. Hal ini diindikasikan dengan identiknya politik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia (Orde Baru lahir dengan peristiwa kudeta tahun 1965 dan Orde Reformasi lahir dengan peristiwa kerusuhan 1998). Termasuk juga adanya indikasi bahwa nasionalisme persatuan yang didengungkan sejak Bhinekka Tunggal Ika karena persatuan terkesan dipaksakan dan begitu rapuh (Lepasnya Timor-Timur, GAM, Papua Merdeka, RMS dan ide dicantumkannya Syariat Islam dalam UUD).
Namun beruntunglah bangsa Indonesia memiliki rakyat yang memiliki tradisi keutamaan masyarakat yang luhur. Semangat untuk hidup sosial yang tinggi serta kemauan untuk belajar dari sejarah telah membuat rakyat mulai bangkit dari pengebirian selendang-selendang yang ada selama ini. Usaha-usaha yang muncul dari kalangan akar rumput (masyarakat lokal) dengan segala karakter sosialnya mulai menampakkan diri untuk terlibat dalam memikirkan hidup bersama. Munculnya berbagai macam partai politik saat ini dapat dilihat secara positif sebagai sebuah kebangkitan rakyat dalam hidup berbangsa. Keberanian dalam menyatakan diri berbeda dengan kelompok atau masyarakat lain dengan jiwa besar untuk menghargai perbedaan itu menjadi indikasi yang jelas adanya kebangkitan ini. Kemandirian untuk menentukan nasib sendiri secara bersama-sama mulai mengalahkan rasa ketakutan dan kemandulan idealisme akibat kenyamanan selendang yang telah dirasakan selama ini. Rakyat Indonesia sekarang ini bukanlah rakyat Indonesia Orde Lama maupun Orde Baru
Indonesia sebagai Negara Federasi
Pola kehidupan politik era Orde Lama dan Orde Baru yang menggunakan sistem kekeluargaan dimana pemerintah berperan sebagai bapak yang baik ini masih berlanjut hingga saat ini. Hal ini membuat rakyat dan pemerintah menjadi dua kubu yang saling berbeda secara struktural yakni pemerintah sebagai bapak dan rakyatlah anaknya. Pola ini menempatkan posisi pemerintah pada penentu utama dalam menerapkan kebijakan publik yang direpresentasikan oleh para wakil rakyat. Pada prakteknya, para wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat pun dengan mudahnya melupakan perannya sebagai wakil rakyat dengan sungguh ketika sudah menempati posisi pemerintahan. Di Indonesia, praktek semacam ini wajar karena mereka memperoleh posisi tersebut pun tidak murni berasal dari suara hati nurani rakyat tetapi dengan membayar suara rakyat agar menempatkan mereka dalam posisi tersebut. Rakyat pun dengan mudahnya menerima situasi ini karena mereka menerima selendang-selendang yang dapat membuat hidup mereka sejahtera untuk sementara waktu. Dan apabila akhirnya pihak wakil rakyat tidak sungguh-sungguh memberikan selendang-selendang itu di kemudian hari, maka dengan sendirinya rakyat tidak akan kembali memilihnya. Inilah kelemahan sistem politik yang telah berjalan sedemikian lama di dalam negeri ini. Sebuah politik yang hanya berdasarkan pada hasrat semata. Hal yang sama terjadi pada program BLT (Bantuan Tunai Langsung) dari pemerintahan sekarang ini sebagai kompensasi atas naiknya harga BBM, tak ubahnya sebagai sebuah selendang.
Apabila pola tersebut masih saja menjadi dasar dari sistem demokrasi di negeri ini, maka proses pendewasaan politik hidup berbangsa tidak akan pernah terjadi. Keanekaragaman yang ada akan terus berada dalam situasi ketertindasan ataupun bisa berubah menjadi anarki. Terlebih lagi, cita-cita keadilan sosial akan berhenti sebagai utopia yang berkedok pemuasan hasrat terus menerus. Untuk itu, kiranya dapat dipikirkan kembali tentang perubahan sistem pemerintahan dari pemerintahan sentralistik kesatuan menjadi pemerintahan desentralisasi melalui federasi. Sudah saatnya masyarakat lokal sebagai rakyat yang sebenarnya diberi kesempatan untuk memikirkan masyarakat lokalnya yang unik. Sudah saatnya pola bapak-anak dilepaskan dari sistem politik Indonesia dengan memberi kesempatan kepada masing-masing wilayah berskala lokal untuk mengatur hidupnya secara mandiri. Pemerintah pusat berkepentingan hanya untuk mengatur hubungan dengan luar negeri dan kebijakan-kebijakan yang menyangkut solidaritas serta subsidiaritas dari masing-masing wilayah lokal tersebut. Dengan demikian, proses pendewasaan publik dalam hidup bersama (pembangunan spiritual, mental dan moral yang sesuai dengan local wisdom) akan berjalan secara mandiri, merata dan didasari dengan persatuan yang bukan hasil manipulasi.
Mewujudkan Keadilan Sosial Indonesia
Perubahan sistem pemerintahan dari negara kesatuan menjadi negera federasi ini hanya merupakan salah satu usaha untuk mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Keadilan sosial selama ini praktis menjadi masalah utama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kebangkitan nasional setidaknya harus ditandai dengan terwujudnya keadilan sosial yang selama ini masih sekedar utopia. Masyarakat miskin dari tahun ke tahun bukannya semakin menurun secara kuantitatif tetapi justru semakin meningkat, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Masih banyaknya pengangguran, masyarakat dengan gizi buruk, tidak terprogramnya sistem pendidikan yang adil dalam praktek Ujian Nasional, krisis ekologi oleh perusahaan-perusahaan berskala nasional yang merugikan rakyat lokal seperti Lapindo, dan tidak terjaminnya hak-hak kaum buruh dapat menjadi salah satu indikasi bahwa keadilan sosial di Indonesia masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Meski demikian, harapan akan selalu ada. Salah satu usaha lain yang dapat dilakukan adalah pemberdayaan bersama masyarakat dalam membangun sisi spiritual, mental dan moral berdasarkan pada penghargaan terhadap keanekaragaman, baik secara struktural maupun sosial. Dengan begitu, semangat Indonesia BISA akan sungguh-sungguh BerBISA bagi kemajuan pembangunan.